Esai – Sastra Pembebasan: Rasionalisasi di Tengah Kontestasi Politik – Arifian Fajar Putera

Sastra Pembebasan: Rasionalisasi di Tengah Kontestasi Politik
karya Arifian Fajar Putera
Juara 2 Lomba Menulis Esai Tulis.me

Baca tips belajar menulis dari penulis lain di menu Tips Belajar Menulis.

Baca esai tentang sastra dari penulis lain di menu Esai.

Masyarakat: Kebebasan yang Tidak Membebaskan

Apalah arti sebuah kebebasan jika masih ada pelarangan sana-sini yang membodohkan? Di tengah masyarakat yang (katanya) demokratis dan menghargai perbedaan lantas mengapa masih banyak konflik yang mengatasnamakan perbedaan? Terlebih di tahun politik semacam ini, makin menguatnya politik identita yang mulai mengkotak-kotakan dan memecah belah. Ada yang bilang konflik ini merupakan tanda bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, akan tetapi apalagi arti kemajemukan kalau tidak dilandasi sikap toleransi? Walau pada akhirnya toleransi dijadikan semacam “slogan” untuk keperluan kampanye yang menjadikan masyarakat semakin terfragmentasi: antara yang toleran dengan yang intoleran.

Jika kita membicarakan fragmentasi yang mengatasnamakan ekonomi, sosial-budaya, dan politik, sejatinya memang sudah sedari dulu hadir di manamana, semenjak manusia mulai sadar akan kebutuhan-kebutuhan biologisnya. Akan tetapi fragmentasi yang terjadi sekarang ini, memulai babak baru panggung drama yang terus-menerus diproduksi di berbagai media. Hal tersebut dapat dilihat tatkala seorang non-islam menduduki jabatan sebagai gubernur di ibu kota. Menimbulkan berbagai respon, baik respon maupun apresiasi. Namun semenjak kasus “penistaan agama” karena “lidah” orang yang bersangkutan (baca: terduga pelaku) “kepleset” dan mengucapkan hal yang agak sedikit sensitif untuk beberapa orang. Sepertiya kalian tahu siapa yang Saya maksud. Singkatnya fragmentasi masyarakat yang terjadi saat ini berada ditingkat yang paling dasar, yaitu bahasa.

Sastra baik sebagai karya maupun ilmu – bahkan yang di luar ranah sastra sekalipun – tak mungkin kita bisa lepas dari bahasa. Segala hal itu merupakan bahasa. Menulis adalah bahasa dalam berkarya. Membaca adalah bahasa dalam berpikir. Hidup adalah bahasa dalam segala hal. Kendati bahasa merupakan komponen paling penting masyarakat, hal tersebut juga sejalan dengan berkembangnya iklim politik identitas sekarang-sekarang ini. Dari mulai penggunaan berbacam atribut penampilan, gestur, simbol-simbol, bahkan slogan yang ada di mana-mana: di jalan, ruang publik, toko, bahkan toilet sekalipun. Maka dari itu konsekuensi dari hal ini ialah hilangnya kehadiran individu, hilangnya kesadaran individu, hilangnya keyakinan akan diri sendiri, karena semua yang berkaitan dengan individu itu tidaklah penting, yang terpenting ialah segala hal yang berkaitan kemaslahatan bersama, kemaslahatan mayoritas, dan kemaslahatan kelompok. Peran individu tenggelam oleh lautan kelompokkelompok yang menyertainya. Padahal jika menghilangkan peran dan hak individu, atau menjadi seorang individu, dihilangkan, maka esensi kebebasan yang sering kita “aungkan” tidaklah berarti. Bagaimana mungkin kita berprinsip kebebasan tapi di sisi lain menolak atau bahkan mengancam bentuk kebebasan tertentu atau lainnya?

Hal inilah yang sepertinya mulai hilang – kebebasan sebagai prinsip dan semangat untuk kebenaran, kejujuran, keikhlasan, toleransi, dan yang paling penting, kebebasan untuk berpikir kritis – di era ini, di mana menjamurnya berita hoax, persekusi, intimidasi, kekerasan fisik, bahkan sampaimeminjam istilah yang diperkenankan Cherian George – pelintiran kebencian. Karena begitu kuatnya tegangan antar kelompok-kelompok sosial, yang di mana kebenaran absolut berada di tangan kelompok, mendorong siapapun yang tidak sejalan dengan kelompok atau identitasnya, akan menerima pengasingan, atau bahkan, lebih jauh lagi seperti yang dialami oleh Novel Baswedan. Selain itu, di tahun politik ini banyak pihak-pihak memanfaatkan lembaga apapun untuk mengkampanyekan keyakinan atau kelompok politiknya, baik dari lembaga penelitian, pers, dan hiburan. Hal seperti biasanya ada bukan? misalnya ada lembaga penelitian yang bilang “elektabilitas si anu lebih tinggi daripada si una,

“kinerja si anu selama beberapa periode,” “tingkat kerugian ekonomi selama pemerintahan una,” atau “seberapa sering senyuman si una membawa kebahagiaan warga” dll, walaupun yang terakhir sepertinya agar ngawur, tapi siapa tahukan? Sekarangkan kenyataan saja nggak kalah ngawurnya dengan sinetron-sinetron, barangkali saja penelitian semacam itu memang ada. Itulah yang terjadi sekarang, berbagai pihak memanfaatkan setiap kesempatan, media, dan institusi apapun untuk keuntungannya di tahun politik.

Karena persoalan inilah yang membuat individu manapun takut apabila pemikirannya tidak sejalan dengan masyarakat atau kelompok sekitarnya. Akhirnya segala apapun taken-for-granted. Nalar kritis menjadi tumpul. Sisi kemanusiaan berubah menjadi kemanusialan. Sikap masa bodoh, apatis, antisosial, buta sejarah, mental robot, orientasi ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat salah satunya, ialah pengadaptasian salah satu karya sastra Indonesia yang berjudul Bumi Manusia. Seperti yang kita ketahui bahwa film cenderung mereduksi buku atau karya yang ingin diadaptasinya, karena bukan kualitas estetisnya yang ingin dicapai, melainkan kebutuhan ekonomisnya yang dikedepankan. Maka tidak jarang banyak penonton yang kecewa sehabis menonton film adaptasi buku karena tidak “sehebat” bukunya. Ditambah yang lebih lucu lagi ada yang tidak mengetahui siapa pencipta Bumi Manusia, dan menyamakannya dengan penulis Buku Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Inilah yang membuktikan segelintir individu di masyarakat masih buta sejarah. Hal ini dikarenakan kita disibukan oleh pelbagai berita omong kosong persoalan politik identias, politik oligarki, dan aristokrat, yang tiada hentinya membius dan memabukan kita semua, yang pada akhirnya kita semua menjadi robot yang berotak dan berperasaan yang seragam.

Keseragaman, hilangnya otonomi individu, buta sejarah, manusia robot, orientasi kelompok, ini merupakan masalah sosial yang sedang(dari dulu) dijangkit oleh masyarakat sekarang ini,  ditambah karena ini tahun politik, yang mementingkan “bagaimana-kejelekan-kelompok-itu-bisa-dipublikasikan-serayamenutup-kejelek-jelekan-kelompok-kita” serta instrumen dan media-medianya. Di tengah masyarkat yang aneh ini maka tidak heran selera sastra yang berkembangpun juga aneh. Bagaimana tidak aneh? Menyamakan satu penulis dengan penulis lain, dari segi prinsip berbeda, begitu pula dengan tujuan penciptaan karyanya. Maka untuk menjawab masalah-masalah yang ada ini, sastra memainkan perannya yang terpenting: sebagai pembebasan.

Akar-akar Kebebasan: Realisme Sosial dan Humanisme Universal

Salah satu upaya untuk mengembalikan otonomi – kebebasan dan persoalan lain yang disebutkan di atas – individu ialah sastra. Terbukti lewat sastra kita bisa mengkritik lewat permainan katanya, yang tidak semua orang dapat memahaminya, atau bisa kabur dari penyensoran, dapat menjadi alternatif dalam menyampaikan pendapatnya (baca:kebebasan).  Dan juga cerita-cerita yang disampaikan dalam karya sastra baik berbentuk cerpen, puisi, novel banyak memuat bidang-bidang yang berbeda, dari mulai sosial-budaya, politik, ekonomi, sejarah, hiburan dll. Dengan banyak membaca karya sastra yang genre-nya berbeda-beda, pengetahuan kita juga akan luas, tidak hanya itu-itu saja. Maka terbukti, salah satu sarana untuk mendapatkan kebebasan ialah sastra, baik dengan membaca atau menulis karya sastra.

Jika kalian pernah membaca salah satu buku Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Ketika Jurnalisme Dibungkam: Sastra Harus Bicara” atau karya Sutardji Calzoum Bachri, “O Amuk Kapak” memilki kesamaan semangat – yakni kebebasan akan kebenaran. Semangat serupa juga ditemukan dalam buku

Goenawan Mohamad, “Marxisme, Seni, Pembebasan”. Memang ketiga buku tersebut membicarakan banyak hal yang berbeda-beda, semisal di buku Gooenawan yang di awal-awal babnya membahas pergelutan aliran seni yang terjadi di tahun 65an antara realisme sosialis dengan humanisme universal. Lalu dilanjutkan dengan pembahasan yang menyertai sastra baik dari segi bentuk maupun konsep. Terlepas dari keterlibatannya dalam penandatangan Manifesto Kebudayaan, sebagai bagian dari kubu “seni untuk seni (humanisme universal)” dan bagaimana sulitnya berkomitmen di tengah rezim yang pada saat itu mengedepankan “seni untuk masyarakat”. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa pada buku itu ia juga mengedepankan, terlepas aliran seni-sastra apapun, yang terpenting ialah kejujuran dan kebebasan untuk manusia seutuh-utuhnya. Jika pada tahun 65an – terutama sebelum tragedi G30S – posisinya diubah, yang di mana aliran seni yang paling dominan adalah humanisme universal, Goenawan juga akan menentang hal itu, karena persoalan seni ialah kebebasan, yang di mana bebas dalam memilih prinsip berseni, bebas dalam mengekspresikan ketertarikan seninya dalam media apapun, dalam kelompok apapun. Singkatnya ialah seni – sastra – itu merupakan kebebasan hakiki. Sedangkan buku Sutardji merupakan kumpulan puisi yang dibuka dengan kredo sastranya, terutama dalam berpuisi: “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas……….Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Dalam puisi Saya, Saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelunggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.” Cobalah tengok satu atau dua puisi dalam buku tersebut, struktur puisinya akan sangat berbeda sekali dengan puisi-puisi pada umumnya – terutama yang dibuat oleh remaja-bocah ingusan yang baru lahir kemarin sore. Maka tidak jarang puisinya dikritik “tidak jelas” atau “kekanak-kanakan” karena kebebasannya dalam berpuisi. Namun bukan berarti kebebasan itu mengedepankan suatu ambiguitas, ketidakjelasan, samar, dan belum dewasa, bukan, bukan seperti itu. Melainkan kebebasan dalam bertindak, berpikir, berprinsip, dan tidak mengantagoniskan segala hal yang tidak seirama dengan kita. Suatu sikap kebebasan yang mawas diri. Itulah yang ingin dicapai. Begitu juga dalam buku Seno, yang mengedepankan sastra – cerpen – sebagai alternatif apabila jurnalisme “dibredel” seperti yang terjadi di era Soeharto, untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang tak bisa dituturkan.

Seperti dalam bab pembukanya yang bertuliskan : “Ketika jurnalisme dibungkan, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan.”

Kendati sastra itu secara alamiah mengandung kebebasan dan kebenaran. Maka ada baiknya – media manapun atau Saya sendiri – tidak menyarankan satu aliran sastra saja. Mungkin untuk awal-awal – terutama untuk remaja-remaja yang lebih sering baca novel kisah-pahit-manis-tentang-percintaan-masasekolah-yang-bikin-galau-sekebon-dan-akhirnya-joget-joget-serta-tiba-tibakayang-gak-jelas-buat-pelipur-lara – seperti yang diupayakan dalam buku Goenawan Mohamad di atas atau buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, karya Wijaya Herlambang, serta karya Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, untuk mengetahui duduk persoalan atau selera sastra bagaimana yang ada di Indonesia. Berdasarkan buku yang sudah disebutkan di atas, ada dua aliran sastra yang pernah memperkaya serta saling “anjing-anjingan” di bidang kebudayaan, yakni realisme sosial dan humanisme universal.

Sastra realisme sosial, yang berprinsip seni untuk masyarakat. Sering menggambarkan keadaan sosial yang terjadi dalam masyarakat, dan berusaha sebaik mungkin agar semua masyarakat dapat memahami karya sastranya, dengan menggunakan bahasa sederhana mungkin, selunak mungkin, sepopulis mungkin. Contoh karya Pramoedya Ananta Toer, Saut Situmorang, Wiji Thukul, Leila Chudori dll. Sedangkan humanisme universal, yang mengedepankan seni untuk seni. Tidak hanya terbatas pada gambaran apa yang ada di masyarakat. Bisa saja berupa gambaran-gambaran imajinatif, fiktif, atau khayalan, yang mungkin saja tidak pernah akan terjadi dalam masyarakat. Tokoh-tokohnya Goenawan Mohamad, HB.Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, S.Takdir Alisjahbana, Ayu Utami, Taufiq Ismail dll.

Pluralitas Sastra: Kacamata yang Harus Dimiliki

Perlu digarisbawahi di sini, dua istilah – realisme sosial dan humanisme universal – walaupun pada konteks 1950-1965an, selain persoalan komitmen dalam seni, itu juga merupakan komitmen dalam keberpihakan politik, dan Saya tidak mau terlalu membahas persoalan sejarah antara kedua istilah itu, yang mau Saya tekankan di sini: walaupun prinsipnya sedikit berbeda, akan tetapi kedua aliran seni – sastra – itu sangat penting dalam menempa nalar kritis untuk membentuk individu yang lebih bebas, tidak buta sejarah, dan lebih otentik. Terbukti lewat karya Pramoedya atau Wiji Thukul, kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi pihak yang terjajah, baik oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri. Begitu juga lewat karya Taufiq Ismail, Budi Darma atau Ayu Utami, akhirnya imajinasi kita tidak hanya sebatas apa yang ada dan nyata di masyarakat, tetapi melampaui apa yang ada di masyarakat. Dengan demikian pemikiran dan pandangan kita akan lebih luas lagi bukan? Kita tidak hanya bisa melihat kekanan saja, tetapi juga kekiri, tidak hanya menjadi sisi yang terkena basahnya hujan, tetapi bisa menjadi sisi yang tidak basah akan hujan, serta tidak hanya memukul lewat tangan kanan saja, tapi juga menangkis bersamaan dengan tangan kiri.

Dan inilah yang harusnya ditekankan dalam masyarakat.  Memang di atas disebutkan betapa kecewanya Saya jika novel Bumi Manusia diadaptasi jadi film, karena Saya takutkan poin terpenting dalam novel itu tidak tersampaikan, akan tetapi dengan diangkatnya novel semacam ini ke layar lebar, diharapkan dapat juga menanamkan minat masyarakat – khususnya remaja Indonesia – untuk membaca genre novel semacam ini, tidak melulu persoalan kisah cinta remaja metropolitas antara si tampan kaya raya dengan si cantik yang juga kaya raya. Bisa dibilang itu merupakan dampak positif. Tapi ini bukan berarti untuk mewujudkan pluralitas sastra dan meningkatkan nalar kritis hanya di tangan lembaga film saja. Ini merupakan tanggung jawab bersama. Semisal coba di sekolah – tingkatan SMP dan SMA – mulai memperkenalkan karya sastra klasik Indonesia, seperti yang diadakan dalam sekolah-sekolah di Jepang. Jika karyakarya sastra hanya diperkenalkan pada SMA jurusan Bahasa itu sudah bagus, lantas bagaimana dengan SMA yang tidak memiliki kelas jurusan Bahasa? Maka dari itu seharusnya materi tentang sastra dimasukan menjadi pelajaran yang tersendiri di SMA atau SMP. Karena sedikit sekali pembahasan sastra di tingkat sekolah Indonesia, kebanyakan pembahasan tarian, alat musik, gambar, pakaian ada, atau materi-materi fisik saja, ketimbang sebuah gagasan, semangat, dan prinsip yang ada pada karya sastra. Selain itu media TV, internet/media sosial, coba lebih gencar dalam mempromosikan karya-karya sastra yang genre-nya bukan pop. Bukan berarti Saya mengajukan jangan membaca novel-novel pop seperti karya Radita Dika, Tere Liye, Dee Lestari dll, toh novel-novel itu banyak juga muatan-muatan edukasinya daripada muatan hiburannya. Akan tetapi perkaya lagilah selera sastra kita dengan yang lainnya, jika hanya itu-itu saja novel yang kita baca, maka kita tidak akan berkembang. Kualitas diri kita tidak akan berkembang. Bukankah banyak membaca, banyak pula dunia yang kita lihat? Dengan banyaknya dunia yang kita lihat, maka itu bisa dijadikan semacam alat untuk meng-counter berbagai berita hoax, pelintiran kebencian, kampanye hitam, intimitasi dan persekusi. Perkayalah sastra yang kalian baca. Perkayalah bahasa yang kalian tulis. Perkayalah identitas yang kalian peroleh. Dengan demikian diri kalian akan jauh lebih otonom, mandiri, toleran, dan lebih dewasa dalam menyikapi segala hal terutama persoalan politik di tahun yang politis ini. Terakhir, semoga lewat tulisan ini kita bisa saling bertukar pikir dengan lepas.

Salam literasi.

Biodata Penulis
Pengagum kopi susu satu ini ialah tak lain dan tak bukan Arifian Fajar Putera, Mahasiswa Sosiologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif dalam forum diskusi kemahasiswaan dan tertarik terhadap kesusastraan. “Kata-kataku ialah kesepian dan kehampaan yang rindu akan lakonnya dalam masyarakat” itulah frasa miliknya. Memiliki akun Instagram @ arifianfajarz.

Tulis.me dengan senang hati menerima karyamu untuk dimuat di sini. Karya dapat berupa cerpen, puisi, esai, atau tips menulis. Untuk mengirim karya dan tips menulis, buka menu Submit Karya & Tips.

Baca tips belajar menulis dari penulis lain di menu Tips Belajar Menulis.

Baca esai tentang sastra dari penulis lain di menu Esai.

Satu pemikiran pada “Esai – Sastra Pembebasan: Rasionalisasi di Tengah Kontestasi Politik – Arifian Fajar Putera

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *