Cerpen – Requiem Masa Lalu – Yopi Ana

Requiem Masa Lalu
Cerpen karya Yopi Ana

Baca karya lain di menu Baca Karya & Tips

Kota Tua Semarang, di penghujung tahun 2010.

Hujan baru saja reda. Aroma pekat tanah berputar di ujung hidung. Senja seolah datang terlalu cepat hari ini. Secangkir espresso panas yang masih mengepulkan asap duduk di atas meja berdampingan dengan sebuah majalah wanita di sampingnya. Wajah cantik Dian Sastro dan Nicholas Saputra menghiasi sampul majalah itu. Teras kedai kopi mulai sepi oleh orang-orang yang berteduh. Sebuah helaan napas tampak membentuk uap yang menempel pada dinding kaca kedai kopi. Sebuah hela napas cemas yang bertautan dengan tidak sabar.

Ning menunggu dengan gelisah seseorang yang seharusnya sudah berada di depannya delapan belas menit yang lalu. Pandangannya tak henti-hentinya terarah pada pintu kedai kopi setiap kali pintu itu terbuka, namun orang yang dinantinya belum juga terlihat. Ning mulai lelah dengan penantiannya, ia hampir meninggalkan espresso-nya yang belum tersentuh begitu saja, sebelum akhirnya sebuah suara menghampirinya dengan napas memburu.

“Maaf, membuatmu menunggu lama. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan tadi. Sesuatu yang sedikit mendesak.” Orang yang ditunggunya akhirnya muncul di depannya setelah satu jam terlambat.
Ning diam, tidak menjawab. Matanya memandang sosok di depannya. Sosok yang selalu bisa memporandakan hatinya.

“Selama dua tahun pernikahan kita, kamu enggak pernah membuat aku menunggu.” Ning berbicara dengan nada getir.

“Maaf ….”

Kali ini hanya senyum pahit yang diperlihatkan Ning. Lalu untuk pertama kalinya ia mengangkat cangkir espresso dan menyesapnya sedikit. Pahitnya begitu ketara kemudian tertinggal di sepanjang lorong tenggorokkannya.

“Maaf ….” Laki-laki di depannya sekali lagi mengucapkan kata yang sama seperti sebelumnya.

Ning mengangkat wajahnya setelah meletakkan cangkir espresso, “Untuk apa? Untuk keterlambatanmu atau perceraian kita?” tanyanya sarat kecewa. Langsung kepada intinya.

Seketika hening. Cukup lama. Dan akhirnya pecah oleh nada penuh sesal.

“Ning … aku ….”

“Aku mencintaimu, Tian. Kita masih bisa mencoba. Dari awal!”

“Tidak, Ning! Kita sudah mencoba selama dua tahun. Kamu adalah orang yang paling tahu bagaimana aku mencoba dan pada akhirnya kamu adalah orang yang paling tersakiti!”

“Kamu menyerah, Tian! Perceraian ini terjadi karena kamu yang enggak mau bertahan sedikit saja! Ayolah, Tian! Pikirkan sekali lagi! Setidaknya kamu mempertimbangkan posisi aku.” Nada bicara Ning meninggi, beberapa pengunjung kedai kopi mulai memperhatikan mereka, namun Ning tidak peduli. Baginya, mempertahankan pernikahannya dengan Tian adalah segalanya.

“Maaf, Ning … maafkan aku … tapi aku sudah mencoba dan pada akhirnya aku ….” Tian menggantungkan kata-katanya sebentar, sebelum akhirnya melanjutkannya dengan pahit, “… Aku … tidak bisa mencintai kamu Ning ….”

Ning membeku. Laki-laki di depannya baru saja menembakkan sebuah peluru dan tepat mengenai jantungnya. Menyakitkan, sekaligus menyedihkan.

“… Perceraian adalah yang terbaik untuk kita, Ning ….”

Ning kembali diam, matanya memandang keluar jendela kedai kopi. Menahan air di matanya yang hampir jatuh.

Hari ini, pelangi tidak juga muncul setelah hujan, Ning bertanya-tanya dalam hati, kemudian dia menyadari jika sudah terlambat karena senja telah membuat hari sepenuhnya menjadi gelap.

***

Ningrum Anggraini, seorang perempuan yang bertaruh pada sebuah pernikahan tanpa cinta dengan harapan ia akan mendapatkan kemenangan. Ia bahkan tidak bisa menguraikannya dengan jelas bagaimana awalnya ia memulai perasaannya sendiri. Pernikahannya dengan seorang laki-laki bernama Tian Darmawan, seutuhnya adalah perjodohan antarorang tua.

Saat itu juga hujan turun dan berhenti menjelang senja. Di salah satu kedai kopi yang berdekatan dengan kota tua Semarang. Pertemuan pertama Ning dan laki-laki itu.

“Kamu punya pacar?” Ning bertanya dengan berani kepada laki-laki di depannya yang sedang meletakkan dua bongkah gula manis ke dalam cangkir kopi hitam miliknya.

“Hanya seseorang yang kucintai.”

“Aku tidak masalah dengan pernikahan ini, bagaimana denganmu?”

Laki-laki di depannya mengangkat bahu, lalu menjawab dengan penuh syarat, “Tentu saja tidak masalah asalkan kamu tidak keberatan dengan orang yang kucintai. Maksudku aku mungkin tidak akan bisa mencintai kamu.”

Ning menyetujuinya tanpa syarat.

Lalu pernikahan itu pun terjadi begitu saja. Ning menikah dengan seorang laki-laki asing yang hanya ditemuinya beberapa kali.

Usia Ning sudah cukup dewasa untuk memenuhi syarat untuk menikah. Ning tidak masalah hidup mandiri seorang diri, namun akhir-akhir ini dia sering kali mendengarkan kata “perawan tua” yang kerap ditujukan kepadanya. Sebuah rangkai kata yang menjadi momok bagi perempuan dewasa. Awalnya ia pun tidak terlalu peduli, tapi pikiran konservatif Mama terus saja memaksanya untuk menikah.

“Biar tak bikin malu keluarga,” kata Mama.

Ning selalu berpendapat, cinta bukanlah segalanya. Namun, Ning tidak menyadari satu hal, hidup selalu dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan mengejutkan. Begitu juga dengan isi hatinya.
Entah dari mana ia memulai semuanya, ia mulai merasa kesal saat Tian menceritakan kepadanya tentang seseorang yang dicintainya, setiap malam ia mulai menunggu kepulangan Tian dari kantor, setiap malam pun ia mengharapkan adanya sebuah hubungan yang lebih intim antara dirinya dan Tian karena hampir memasuki satu tahun pernikahan, keduanya masih tidur di kamar yang terpisah. Ning mulai merasa hatinya seperti diremas seseorang saat memikirkan tentang Tian yang begitu mencintai orang lain. Bahkan Ning seolah kehilangan rasionalnya ketika merasakan cinta yang semakin besar kepada Tian, saat laki-laki itu mempertemukannya dengan orang yang selama ini dicintainya. Cintanya kian besar disaat hatinya hancur berkeping.

Lalu bagi Ning, cintanya kepada Tian adalah segalanya.

“Tidak, Ning! Aku enggak bisa! Aku sudah mencoba untuk melepaskannya, tapi ada sesuatu di dalam hatiku yang begitu terikat dengannya! Aku … begitu mencintainya … Ning … begitu mencintainya sampai-sampai aku membenci diriku sendiri!” Mata Tian berkaca-kaca, ia menundukkan kepalanya menghindari tatapan iba dari Ning, “Aku adalah pendosa, Ning, pendosa yang menyakitimu dan ….”

“Kita bisa mencobanya perlahan, Tian … perlahan, sampai kamu bisa menempatkan aku di hati kamu.” Ning menggenggam tangan Tian erat, “… Tidak apa-apa, Tian. Aku percaya waktu tidak akan diam saja melihat kita berusaha melangkah untuk memulai semuanya. Percayalah padaku! Semuanya akan baik-baik saja.”

“Kamu akan menderita karena aku, Ning ….”

“Aku baik-baik saja, Tian! Aku tahu kamu enggak bisa melawan semua perasaanmu itu, tapi aku yakin kamu tidak benar-benar menginginkan perasaan itu, kan? Kita akan melawannya bersama.”

“Aku ….”

Ning menggeleng, mengisyaratkan Tian untuk tidak melanjutkan ucapannya. Genggamannya pada tangan Tian semakin erat, dalam dirinya ia begitu yakin akan membawa hati Tian ke dalam pelukannya. Suatu hari nanti … pasti!

Dengan mengesampingkan semua sakit hatinya, Ning menggenggam erat tangan Tian, menunjukkan kepada laki-laki itu betapa besar cintanya. Semakin hari cintanya semakin menggila. Namun, laki-laki itu masih berada di tempat yang sama di mana mereka berdua memutuskan awalnya. Ning berjalan seorang diri, sementara Tian mengabaikannya sepenuhnya, sampai akhirnya laki-laki itu menyadari jika ia tidak akan bisa melangkah bersama Ning.

Perceraian! Hanya hal itu yang terpikirkan oleh Tian untuk mengakhiri semuanya. Ia tidak ingin Ning lebih menderita lagi karenanya.

Pada akhirnya, di akhir bulan September, saat hujan mencapai puncaknya, Ning sampai di tujuannya seorang diri dan Tian masih bergeming di tempat yang sama.

***

Kota Tua Semarang, di permulaan tahun 2016.

Hujan rintik di awal kemarau baru saja reda, mendatangkan aroma pekat tanah yang terkadang masih begitu dirindukannya. Hujan dan aroma yang seolah mengucapkan selamat datang kembali kepadanya. Sebuah lembayung tampak di barat berdekatan dengan matahari senja. Di salah satu sudut kafe yang mengusung tema kuno yang berdekatan dengan kota tua Semarang, seseorang yang tidak pernah ingin kembali, duduk dengan berbagai kesibukan di depannya.

Ningrum Anggraini, perempuan yang telah gagal mempertahankan cintanya, akhirnya kembali ke kota yang menyimpan kisah pahit masa lalunya. Pekerjaannya sebagai seorang chief editor salah satu majalah wanita di ibu kota mengharuskannya menghadiri sebuah seminar di kota ini.

“Ning … kamu … Ning, kan?”

Sebuah suara terdengar jelas berasal tepat di depannya. Ning terdiam beberapa detik di tempatnya, ada sebuah ketakutan berisi rasa sakit hati yang sampai saat ini belum menghilang sepenuhnya saat mendengar suara itu. Masa lalu itu seperti sebuah peluru yang bersarang di dalam hatinya. Bahkan terasa sakit dan menyesakkan saat ia bernapas.

“Ning … benar, kan … kamu Ning? Ningrum Anggraini?”

Cukup lama Ning bergeming, mengatur perasaannya yang seketika menjadi kacau, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya perlahan. Seorang laki-laki dari masa lalunya, berdiri dengan senyum ramah di depannya. Tian Darmawan.

“Apa … kabar?”

Senyum tidak hilang dari wajah laki-laki di depannya saat mendengar pertanyaan Ning yang terdengar sungkan di telinganya.

“Baik … bagaimana denganmu?”

Ning menarik napas, kemudian menjawab singkat, “Sedikit sibuk.”

“Hai, Ning, apa kabar?”

Seorang yang lain muncul dari belakang Tian, seseorang yang membuat Ning tersenyum getir dan pahit. Seseorang yang memiliki hati Tian sepenuhnya. Seseorang yang membuat Ning kalah seutuhnya. Seseorang yang Tian cintai.

Beberapa detik berlalu, tanpa disadarinya, pandangan Ning bertemu dengan Tian.

“Ning ….”

“Senang bertemu kembali denganmu, Tian.” Ning memotong sebelum Tian menyelesaikan ucapannya. Setelah mengatakan hal itu, Ning pergi meninggalkan Tian dengan sebuah tepukan bahu ringan dan senyum kecil.

Di luar langit sudah benar-benar gelap. Kota tua Semarang yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan tua klasik khas peninggalan Belanda terlihat dipenuhi dengan lampu jalanan dari kejauhan. Tampak indah dan kesepian. Seperti Tian yang terlihat bahagia dengan laki-laki pilihannya dan Ning yang belum berdamai dengan masa lalunya.

Tulis.me dengan senang hati menerima karyamu untuk dimuat di sini. Karya dapat berupa cerpen, puisi, esai, atau tips menulis. Untuk mengirim karya dan tips, buka menu Submit Karya & Tips.

Baca karya lain di menu Baca Karya & Tips

Satu pemikiran pada “Cerpen – Requiem Masa Lalu – Yopi Ana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *