Cerpen – Bangunan Tiga Lantai di Sudut Jalan Gangnam – Yopi Ana

Bangunan Tiga Lantai di Sudut Jalan Gangnam
Cerpen karya Yopi Ana

Perutku masih rata, belum membesar. Belum ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Namun, kecemasanku sudah setinggi Gunung Halla. Ketakutanku pun semakin menjadi seakan Jeoseung Saja sedang berdiri di depanku dan bersiap menelanku.

Aku dilanda kebimbangan.

Mataku melirik layar ponsel. Aku sedang menunggu panggilan ataupun pesan dari seseorang, namun mataku pada akhirnya terpaku pada jam analog yang detiknya kuhitung dalam hati.

Seharusnya dia sudah berada di sini.

Aku saling mengaitkan ruas-ruas jariku, saling meremas, gelisah. Dia tidak pernah terlambat sebelumnya, dia selalu menyempatkan waktu untukku, akan tetapi hari ini, dia sudah membuatku menunggu. Tiga puluh menit.

Untuk kesekian kalinya, aku menengadahkan tatapanku pada bangunan tiga lantai yang ada tepat di hadapanku dan berdiri kokoh dengan papan reklame yang lampunya sudah menyala. Bangunan bercat putih yang berada di sudut kemewahan Gangnam itu tampak cukup ramai. Sedari tadi aku sudah melihat beberapa perempuan dengan perut besar masuk kedalam bangunan itu, lalu beberapa perempuan yang datang dengan bayi di dalam dekapan dan langkah terburu.

Aku mulai ragu.

Aku menurunkan pandanganku, menatap langkahku yang mulai bosan menendang kecil dedaunan gugur di depan bangunan itu.

“Nona, ada yang bisa saya bantu?”

Aku terkejut dengan pertanyaan seorang pria tua. Kira-kira berumur awal enam puluh tahun. Aku meliriknya, sepertinya dia adalah pekerja bagian keamanan di bangunan tiga lantai itu. Badannya yang sudah sedikit bungkuk tampak begitu kecil di dalam bungkusan sebuah jaket parasut tebal berwarna hijau gelap.

“Maaf, sepertinya saya salah tempat.”

Aku membungkuk seadanya, kemudian pergi dengan langkah terburu seperti baru saja tertangkap basah telah melakukan sebuah kesalahan besar.

***

Jantungku mengamuk. Pukulannya menghantam rusukku, berulang kali, rasanya hampir remuk. Aku sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit jantung, begitu pun ibu dan ayahku, keduanya juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

Mungkinkah kekhawatiranku yang berlipat adalah penyebabnya? Ataukah pengaruh dari insomnia yang menderaku dua malam berturut-turut?

Sapu tanganku sudah tidak menyisakan bagian yang bisa kugunakan lagi, jadi aku pun menggunakan ujung bajuku untuk menyeka keringat dingin yang terus bermunculan di dahi dan samping tengkukku.

Aku merasa tidak nyaman sekaligus tidak aman.

Hari ini aku mengenakan jam tangan bertali kulit buaya asli, hadiah yang diberikannya untukku. Aku meliriknya sedikit, 14 menit sebelum waktu janji temu kami.

Aku mempercayainya setelah dua hari lalu dia mengingkari janjinya. Dia memohon padaku, berlutut mengharapkan maafku, dan membawakanku segorombol tangkai mawar segar yang sampai saat ini masih kuletakkan di tepi jendela apartemenku, meskipun sudah sedikit menghitam karena layu. Aku tergoda dengan kesungguhan yang terpancar pada matanya dan juga … mawar merah menyala yang amat kusukai. Aku memaafkannya.

Lalu setelah empat belas menit itu berlalu dan dua puluh menit selanjutnya datang, aku mulai membenci gerombolan mawar merah itu. Aku … menyesal menjadi pecinta bunga berhati lemah yang menerima maafnya begitu saja.

Kegelisahanku semakin memuncak. Seperti kemarin, aku menengadahkan tatapanku, papan reklame dengan penghias lampu sudah dinyalakan. Papan reklame itu adalah papan petunjuk. Identitas bangunan tiga lantai yang terletak di salah satu sudut Gangnam ini. Bangunan itu benar-benar menggoda, dia seolah memanggilku untuk masuk ke dalam. Aku bersungguh-sungguh, jika aku melihat tangannya yang seolah melambai padaku. Namun, pengecut sepertiku terlalu takut untuk menjadi pendosa untuk kedua kalinya.

“Anda … apakah hari ini juga datang ke tempat yang salah?”

Aku terperanjat kaget mendengar suara yang berasal tepat di belakang tubuhku. Petugas penjaga keamanan yang pada hari pertama menyapaku.

Aku tersenyum canggung.

“Sudah hampir memasuki musim dingin, kau bisa menunggu di dalam,” petugas keamanan itu menunjuk sebuah tempat kecil yang berada tepat di sebelah bangunan tiga lantai itu. Itu pasti pos penjagaannya. Awalnya aku ingin menolak, namun tatapan senyumnya yang dipenuhi dengan gurat usia senja seolah meyakinkanku untuk mengiyakan tawarannya.

Beberapa detik kemudian, aku sudah menggenggam segelas kopi hangat dengan gelas plastik di dalam genggamanku. Kopi itu adalah kopi buatan istrinya yang dimasukkan ke dalam termos sehingga panasnya pun masih begitu terasa.

“Kau menunggu seseorang?”

Aku mengangguk sambil menyesap kopi buatan istri si petugas keamanan. Rasa pahitnya tertinggal di atas lidahku, namun aku menyukainya.

“Kopi buatan istriku adalah yang terlezat,” petugas keamanan itu ikut menyesap kopi buatan istrinya.
Pos penjagaannya cukup rapi. Sebuah monitor yang berisi rekaman CCTV diletakkan di atas meja yang bersebelahan dengan pintu masuk. Tumpukan Chosun Ilbo dan sebuah radio usang berada di tempat yang sama. Pandangannya pasti cukup konservatif.

“Aku sudah bekerja di sini selama sepuluh tahun lebih dan selama itu pula aku banyak sekali melihat gadis-gadis dengan wajah cemas menunggu di depan gedung. Gelisah menunggu seseorang. Seperti dirimu.”

“Lalu Anda pasti sudah sering sekali berbagi kopi dengan gadis-gadis berwajah gelisah sepertiku, bisa-bisa istri Anda marah nantinya,” aku berusaha tertawa, kembali aku merasakan kenikmatan rasa pahit yang tertinggal di lidahku saat menyesap kopi itu.

“Kau adalah yang pertama.”

“Kenapa? Bukankah Anda melihat banyak sekali gadis sepertiku?”

“Karena hanya kau yang terlihat ragu.”

Aku bungkam mendengar kata-katanya. Ada sesuatu, sesuatu yang sulit kujelaskan namun membuatku tidak nyaman, aku hanya menyadari satu hal setelah itu, yaitu keraguanku semakin besar. Kata-katanya seolah memperjelas keinginan dalam keraguanku.

“… Lalu apakah orang yang ditunggu para gadis yang Anda lihat datang?”

“Tidak semuanya.”

“Lalu yang tidak datang, apakah para gadis itu pulang?”

“Mereka masuk sendirian.”

Tiba-tiba aku merasakan ketakutan, sebuah ketakutan yang lebih besar. Tanganku bergetar, jantungku kembali mengamuk bersama butiran keringat yang kembali mengucur. Aku meletakkan gelas plastik yang kopinya hanya bersisa setengah di atas meja disamping tumpukan Chosun Ilbo.

Petugas keamanan itu tersenyum, dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna cokelat dengan garis-garis hitam halus di sisi-sisinya, menyerahkannya kepadaku sambil berkata dengan senyum yang sulit kuartikan, “sesekali seseorang harus percaya pada keraguannya sendiri karena terkadang itulah keinginannya yang sesungguhnya.”

***

Perutku masih benar-benar rata, belum membesar, juga belum memiliki tanda-tanda kehidupan, namun gerombolan mawar yang berada di sudut jendela apartemenku sudah layu, menghitam, dan kering, meskipun aroma harumnya masih tertinggal.

Aku masih menunggunya. Kali ini dengan harapan yang kuletakkan jauh lebih tinggi dari puncak Gunung Halla, aku bertaruh seluruhnya pada sisa-sisa harapanku. Menyingkirkan bongkahan besar keputusasaanku. Hanya untuk dirinya.

Semalam dia datang, lagi-lagi membawa gerombolan mawar merah, mengumbar maaf dengan jutaan alasan yang memuakkan. Namun begitu dia meneteskan air mata, aku mulai iba dan memahami situasinya. Pada akhirnya aku pun memaafkannya, akan tetapi kali ini aku tidak menerima gerombolan mawar itu. Sudah cukup bagiku menunggu gerombolan mawar di tepi jendelaku membusuk seutuhnya dan bersiap untuk membuangnya.

Senja telah usai, dia masih tidak kunjung datang.

Ribuan semut rasanya menyerbu kakiku karena terlalu lama berdiri.

Aku tersenyum kecut, menertawakan diriku sendiri sambil menelusuri ingatan-ingatan tentangnya. Aku tergoda oleh rayuannya dan memberikan semua kepadanya setelah itu. Aku mabuk oleh janji-janjinya, luluh oleh gerombolan mawar merah yang kerap diberikan olehnya. Sampai aku pun melewati batas yang sudah kubuat sendiri karena tergila-gila padanya.

Kira-kira enam hari yang lalu, aku baru menyadari jika semuanya sudah terlambat.

“Aku hamil.”

Cukup lama aku menunggu jawabannya, tidak ada keraguan pada wajahnya. Aku pun tidak pernah melihatnya seyakin itu.

“Di Gangnam aku mengenal seorang dokter yang memiliki reputasi tinggi, bangunannya tiga lantai di salah satu sudut jalan Gangnam, gugurkan bayi itu disitu.”

Aku … benar-benar harus merayakan kebodohanku.

Seperti hari ini, dia sungguh-sungguh tidak datang. Dia hanya mengirimkan sebuah pesan singkat alasan karena ketidakdatangannya. Tidak datang dengan gerombolan mawar merah. Dan begitu aku menengadahkan kepala untuk menahan air mataku, bangunan tiga lantai di sudut Jalan Gangnam yang berdiri di depanku saat ini sedang menertawakanku.

Maaf aku tidak bisa menemuimu, istriku melahirkan hari ini.

 

 

Tulis.me dengan senang hati menerima karyamu untuk dimuat di sini. Karya dapat berupa cerpen, puisi, esai, atau tips menulis. Untuk mengirim karya dan tips, buka menu Submit Karya & Tips.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *