Cerpen – Haruskah Kumengalah – Nila Desri Yenti

Haruskah Kumengalah
karya Nila Desri Yenti

Baca karya fiksi lain di menu Baca Karya Fiksi

“Maukah kau menikah denganku? tanya Fadhil suatu sore. Dia menatapku dengan lembut sambil tersenyum. Kerongkonganku seakan tercekat. Detak jantungku seakan berdegup lebih kencang. Tubuhku sedikit gemetar. Aku pun mengangguk pelan. Dia kembali tersenyum. Senyumannya itulah yang membuatku tak mampu mengatakan tidak untuk permintaannya itu. Tampak jelas binar bahagia di matanya. Aku pun tertunduk malu.

Sore itu, mentari bersinar dengan lembut. Angin juga bertiup sepoi-sepoi. Memberi kebahagiaan tersendiri untuk hatiku.

Fadhil! Seorang pemuda yang boleh dikatakan sempurna bagiku. Meski takkan pernah mampu mengalahkan kesempurnaan Yang Kuasa. Seorang laki-laki yang baik, mapan, mandiri dan berasal dari keluarga baik pula.

Aku mengenalnya memang belum berapa lama. Mungkin baru enam bulanan ini. Pertemuan yang tidak sengaja saat aku menemani kak Nia ke rumah temannya. Di situlah awal perkenalan kami.

“Nia … ini adik kamu?” tanya Fadhil yang waktu itu aku belum tahu namanya.

“Iya … kenapa?” kak Nia balik bertanya.

“Enggak kok. Hanya ingin kenalan saja,” ujar Fadhil lagi. Aku hanya tersipu malu.

Enam bulan telah berlalu. Hari ini Fadhil memberi kepastian untuk hubungan kami. Sebenarnya kami tidaklah selalu bersama. Hubungan kami tidaklah seperti kebanyakan. Kami jarang bertemu disebabkan jarak tempat tinggalku dengannya yang boleh dikatakan cukup jauh. Ditambah lagi kesibukan Fadhil yang susah meluangkan waktu untuk bertemu denganku.

Meskipun begitu, aku tidak pernah mempersoalkan semuanya. Kak Nia yang juga merupakan teman Fadhil pernah bilang kalau Fadhil itu orangnya baik. Aku percaya karena tak mungkin kak Nia ingin adiknya bersama dengan orang yang salah. Kak Nia juga memberi batas untuk pertemuan kami. Bukannya kak Nia ikut campur urusan kami, tapi kurasa ini untuk kebaikan kami juga. Saat aku akan bertemu Fadhil, kak Nia pasti menemani. Seperti sore itu … saat Fadhil meminta diriku, kak Nia juga berada di sampingku. Ini memberi rasa aman bagi diriku.

“Kamu serius mau menikahi adikku, Fadhil?” kak Nia mempertanyakan keseriusan Fadhil.

“Benar … aku serius. Nanti aku akan datang ke rumah menemui orang tuamu,” ujar Fadhil lagi meyakinkan aku dan kak Nia.

“Oke deh … tapi kamu harus janji buat jaga adikku!” ucap kak Nia lagi.

“Sip ….”

Mentari pelan-pelan mulai kembali ke peraduannya. Dan kami pun harus segera pulang. Kami tak ingin mama dan papa khawatir karena dua anak gadisnya belum kembali ke rumah. Dengan langkah ringan dan hati yang bahagia kuberjalan menuju rumahku. Di sepanjang perjalanan, sesekali kak Nia menggodaku.

***

Benar saja … mas Fadhil, demikianlah kumemanggilnya sekarang, keesokan sorenya datang bersama orang tuanya. Kusambut kedatangan mas Fadhil bersama keluarganya dengan sedikit rasa sungkan. Karena memang, aku anak yang pendiam dan pemalu. Untuk berkomunikasi dengan orang lain, aku sering mengalami kesulitan. Karena itulah kak Nia berusaha membuat aku bisa dekat dengan siapa saja.

Duduk di ruang tamu bersebelahan dengan mama dan papa serta kak Nia yang selalu setia di sampingku. Mencoba menguatkan aku yang gugup menghadapi situasi ini.

“Begini, pak. Maksud kedatangan kami ke sini, hendak melamar putri bapak untuk Fadhil,” ayah mas Fadhil mengutarakan maksud kedatangannya.

“Putri saya, Nia kan?” tanya papa lagi. Pertanyaan papa membuat aku bertambah gugup. Ada rasa was-was di hati jika nanti papa menolak mas Fadhil.

“Bukan, pak. Saya bermaksud melamar Keysha,” jelas mas Fadhil meluruskan.

“Jadi, nak Fadhil mau melamar Keysha?” tanya papa sedikit kaget. Seketika raut wajah mama dan papa berubah.

“Iya, pak,” jawab mas Fadhil.

“Ya … gimana? Sebenarnya saya tidak menolak lamaran ini. Hanya saja kakaknya Keysha belum menikah. Dan kami berharap nak Fadhil datang untuk Nia. Karena Nia lebih layak untuk menikah terlebih dahulu dibanding Keysha,” ujar papa.

Demikianlah sekelumit percakapan yang kudengar. Ada rasa kecewa yang menghantam perasaanku mendengar perkataan papa. Aku pun beranjak meninggalkan mama dan papa serta keluarga mas Fadhil. Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingku. Berlari ke kamar dan menguncinya dari dalam. Tak kuhiraukan kak Nia yang berkali-kali mengetuk pintu kamarku.

Tak sanggup kubendung air mata ini. Kutumpahkan semuanya. Aku menyadari … tak sepatutnya aku melangkahi kak Nia. Apa salahnya jika jodohku yang datang terlebih dahulu. Dan sebenarnya kak Nia pun pernah bilang padaku soal ini.

“Key … jika kamu ketemu jodohmu, jangan pedulikan kakak, ya,” ujar kak Nia di lain waktu.
Iya … kak Nia enam tahun lebih tua dariku. Sampai saat ini, kak Nia belum menemukan jodohnya. Dan saat kak Nia memperkenalkan mas Fadhil dulu, aku pun mempertanyakannya. Namun kak Nia tetap membuat aku dekat dengan mas Fadhil, hingga sampai mas Fadhil melamarku.

Tanpa sadar aku pun tertidur. Bahkan aku tidak tahu kapan mas Fadhil dan orang tuanya berpamitan untuk pulang. Suara ketukan halus membuat aku terbangun. Dengan malas kuberdiri dan membukakan pintu untuk pemilik ketukan tadi. Wajah manis kak Nia dengan senyum sumringahnya langsung muncul dari balik pintu.

“Hei … adikku yang manis. Jangan sedih dong! Papa dan mama memanggil kita ke ruang makan. Mandi dulu sana … kami tunggu secepatnya ya!” ujar kak Nia. Aku berusaha tersenyum. Mengambil handuk dan beranjak untuk mandi dengan suasana hati yang tak menentu. Kuberharap setelah mandi nanti, dapat ku rasakan sedikit kesegaran di jiwaku.

Dengan malas kulangkahkan kakiku menuju meja makan. Terlihat papa, mama, dan kak Nia sudah bersiap hendak menyantap makan malamnya.

“Loh … kok lama sekali mandinya, Key?” sapaan mama langsung mampir di telingaku.

“Iya … nanti masuk angin kelamaan mandinya,” goda kak Nia.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ocehan kak Nia.

“Sudah, makan dulu. Perut mama sudah keroncongan menunggu kamu dari tadi,” ujar mama berusaha menghangatkan suasana.

Sepertinya malam ini aku kehilangan nafsu makan. Meski hari ini mama masak makanan kesukaanku.

“Keysha … maafkan papa soal yang tadi ya!” papa membuka percakapan setelah acara makan malam selesai.

“Papa tidak bermaksud membuatmu kecewa dengan ucapan papa. Tapi kamu kan tahu, kalau kak Nia belum juga menikah,” lanjut papa.

Aku tahu … umur kak Nia sudah tidak muda lagi. Mungkin boleh dibilang sudah mulai terlambat untuk menikah. Walaupun sebenarnya kedatangan jodoh itu tidak mengenal kata terlambat karena dia akan datang pada saat yang tepat.

Aku pun tidak mengerti mengapa kak Nia belum juga menemui tambatan hatinya. Saat seseorang datang meminang kak Nia, kak Nia menolaknya. Tapi ketika kak Nia menyukai seseorang, tak tahu kenapa selalu saja tidak ada kesudahan dari hubungannya tersebut. Seakan-akan kak Nia digantung begitu saja. Dan kak Nia bukanlah gadis yang tidak menarik. Rupa dan pendidikan serta pekerjaannya, kurasa tidak akan membuat pria-pria yang pernah dekat dengan kak Nia berpikir panjang untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius dengan kak Nia. Entahlah …

Dan aku … di usiaku saat ini juga sudah seharusnya segera mengakhiri masa lajangku. Menunda-nunda bukanlah hal yang baik. Pertemuanku dengan mas Fadhil suatu anugerah. Kak Nia sendiri yang menciptakan hubungan ini hingga berlanjut ke arah yang lebih serius.

“Papa ingin kak Nia yang menikah terlebih dahulu!” tegas papa.

“Pa, tidak masalah kok kalau Keysha yang duluan. Nia ikhlas …” ujar kak Nia meyakinkan papa.

“Papa tetap tidak setuju. Kalau kak Nia belum menikah, Keysha belum papa izinkan juga. Kalau Fadhil benar-benar mencintai kamu, dia pasti mau bersabar menunggu,” ujar papa.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Meskipun hati berontak tapi aku tak bisa berkata banyak membantah keputusan papa. Dadaku mulai sesak … mata terasa panas. Mengalirkan butiran-butiran air bening yang mulai membasahi pipiku.

“Pa, kalau memang Keysha yang sudah bertemu jodohnya kenapa harus nunggu Nia. Nia belum ketemu orang yang tepat untuk menjadi imam Nia,” ujar kak Nia lagi. Sementara aku hanya diam.

“Papa rasa Fadhil orang yang tepat untuk jadi imam anak papa. Bagaimana kalau Fadhil papa terima untuk kak Nia, dan kamu Keysha … masih punya banyak waktu untuk mencari pengganti Fadhil,” ucapan papa betul-betul di luar dugaanku.

“Tapi, pa. Fadhil itu inginnya sama Keysha bukan Nia,” bantah kak Nia.

“Ya terserah kalian. Atau papa akan tolak Fadhil.”

Keputusan apa ini? Papa memberi keputusan sepihak. Mas Fadhil bukanlah barang yang bisa dipindahkan sesukanya. Papa tak peduli bagaimana perasaanku saat ini. Tapi … egoiskah aku? Haruskah aku mengalah untuk kak Nia? Yang jelas dada ini sudah semakin sesak. Kak Nia terus meyakinkan papa. Namun papa tetap pada keputusannya. Kak Nia memelukku dan berusaha menghiburku. Perasaanku sudah tak menentu. Aku seakan terombang ambing dalam lautan perasaan.

Seminggu telah berlalu … keputusan papa tetap tak berubah. Mas Fadhil sudah sering menanyakan persetujuan papa tentang lamaran mas Fadhil untukku. Aku sendiri tidak tahu apa yang dikatakan papa kepada keluarga mas Fadhil sepeninggalku waktu itu. Aku pun belum bisa memberikan kepastian untuk mas Fadhil.

Pagi yang mendung, semendung hatiku saat ini. Kubuka jendela pelan-pelan dan membiarkan dinginnya cuaca menemani pagiku. Kuarahkan pandangan jauh menatap jalanan yang mulai ramai dilewati massa.

Perut yang sudah sejak semalam kosong memanggil untuk segera diisi. Kulangkahkan kakiku menuju dapur guna mengambil sesuatu yang bisa mengganjal pèrutku pagi ini. Sunyi … karena memang hanya aku yang bèrada di rumah. Mama dan papa pagi-pagi sekali tadi sudah berpamitan mau ke rumah pamanku di luar kota. Sementara kak Nia sejak semalam belum pulang, menginap di rumah temannya.

Habis mengisi perut, aku berniat hendak kembali ke kamarku. Tanpa sengaja aku melihat ke arah kamar kak Nia yang kebetulan bersebelahan denganku. Kubuka handel pintu kamar kak Nia dan pelan-pelan masuk ke dalamnya. Mataku tertuju pada sebuah buku yang tergeletak begitu saja di kasur. Buku diari kak Nia … tebersit rasa penasaran di hatiku untuk tahu tentang apa yang ditulis kak Nia selama ini.

Deg … sebuah foto tanpa sengaja jatuh dari buku tersebut. Dan hal yang membuat aku sangat kaget adalah laki-laki yang ada pada foto itu. Mas Fadhil??? Berjuta tanda tanya mulai mengalir di pikiranku. Ada hubungan apa mas Fadhil dengan kak Nia? Sampai-sampai foto mas Fadhil ada sama kak Nia. Laki-laki yang kak Nia sendiri yang mengenalkannya padaku. Apa mungkin mereka punya hubungan khusus di belakangku. Apa mungkin mereka bukan hanya sekedar teman?

Dengan tangan gemetar, kubuka lembar demi lembar buku diari kak Nia. Dan satu hal yang membuat aku tak percaya ketika aku membaca tulisan kak Nia saat pertama kali aku bertemu dengan mas Fadhil

***

Dear diary

Hari ini hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pertemuanku dengan seseorang yang telah lama aku impikan. Sudah hampir 10 tahun kami tidak berjumpa. Selama itu pula aku memendam rasa padanya. Meskipun dia tidak pernah tahu tentang perasaanku padanya. Dan hari ini aku berharap bisa menyatakan perasaanku padanya.

Aku sengaja membawa adik semata wayangku. Kuberharap adikku bisa punya lebih banyak teman lagi. Dia betul-betul gadis yang pendiam.

Aku merasa deg-degan saat laki-laki yang kudamba selama ini datang menghampiriku. Mungkin ini kesempatan bagiku untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi … aku kecewa, dia malah bertanya banyak tentang adikku. Sepertinya dia menyukai adikku dan adikku pun nyaman bersamanya. Kuurungkan niatku untuk menyatakan isi hati yang selama ini kupendam.

Kuabaikan perasaanku terhadapnya. Aku lebih bahagia melihat adikku bisa bahagia bersamanya. Dan kan kubiarkan perasaanku ini lenyap dimakan waktu. Kuyakin perlahan aku bisa menepisnya. Meskipun aku tidak tahu pasti aku mampu atau tidak. Demi kebahagiaan adikku, aku rela korbankan perasaanku.

***

Aku tidak melanjutkan membaca buku diari kak Nia. Kurasa itu cukup mewakili bagaimana perasaan kak Nia. Aku benar-benar adik yang egois. Aku seakan tidak peduli dengan perasaan kakakku sendiri. Hatiku semakin tak menentu … kak Nia dengan rela memberikan orang yang dicintainya untuk kebahagiaanku meski hatinya terluka dan aku tidak tahu itu. Di satu sisi aku sangat mencintai mas Fadhil … tapi di sisi lain ada hati yang tulus yang tersakiti.

Apakah aku harus merelakan mas Fadhil untuk kak Nia? Haruskah aku menyetujui keinginan papa untuk menerima mas Fadhil tapi untuk kak Nia dan bukan untukku.

Kutinggalkan kamar kak Nia dengan hati yang berantakan. Ini bukan salah kak Nia … tapi salahku yang tak peka dengan saudaraku sendiri. Andai saja aku tahu kalau kak Nia memendam rasa sama mas Fadhil, tentu hubungan ini takkan berlanjut sampai ke sini. Kutunggu kepulangan kak Nia dengan hati yang tak menentu. Hari ini semuanya harus jelas dan aku tak mau ada yang tersakiti nantinya.

Biodata Penulis
Nila Desri Yenti
, seorang guru taman kanak-kanak di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Hobi menulis sejak SMA dan mau terus belajar agar bisa menjadi penulis terkenal.

Tulis.me dengan senang hati menerima karyamu untuk dimuat di sini. Karya dapat berupa cerpen, puisi, esai, atau tips menulis. Untuk mengirim karya, buka menu Submit Karya & Tips.

Baca karya fiksi lain di menu Baca Karya Fiksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *