Cerpen – Darah, Keringat, dan Air Mata – Ruth Silalahi

Darah, Keringat, dan Air Mata
karya Ruth Silalahi

Baca karya fiksi lain di menu Baca Karya Fiksi

Dingin. Begitulah hubunganku dengannya. Bicara secukupnya, selalu menjadi senjataku untuk menghadapinya. Bukan tidak peduli hanya saja kami terbiasa dengan hal itu. Lebih sering diam dalam keheningan.

Meskipun mengetahui ada masalah di dalam diri masing-masing, kami hanya sekadar bertanya basa-basi dan tidak ingin mengetahui lebih dalam lagi.

Bukan! Ralat!

Sebenarnya kami ingin mengetahui apa masalah yang menimpa sampai kami bisa seperti ini. Tapi kami sama-sama takut untuk menyinggung perasaan satu sama lain. Kemudian menahan diri untuk penasaran akan hal itu, akan apa yang telah terjadi. Sampai-sampai kami sangat terbiasa akan hal itu, sangat terbiasa.

Berbicara seperlunya hanya itu yang kami lakukan. Bahkan dalam hubungan seperti ini, orang pada umumnya hal yang lumrah untuk memberi perhatian satu sama lain, bertanya dan melempar candaan yang terasa renyah saat diutarakan. Dalam hubunganku dengan dia sangat aneh dan canggung bagiku kalau aku banyak berbicara. Karena aku tak terbiasa akan hal itu, aku hanya terbiasa akan keheningan bahkan saat kami berdua saja. Sangat canggung dan aneh.

Biasanya orang-orang yang mencintai dan dicintai memakai alat komunikasi telepon untuk menanyakan kabar, bertegur sapa, saling memberi perhatian, bahkan untuk bercerita hal yang buruk dan baik yang telah dialaminya kepada orang yang dicintainya atau mencintainya. Tetapi tidak dengan kami. Alat komunikasi itu kami pakai hanya untuk hal yang tidak penting seperti, uang sekolah, uang jajan, dll.

Aku sangat tertutup kepadanya. Merasa canggung menceritakan keseharianku karena aku tak terbiasa dengan hal itu. Bahkan hal yang buruk atau pun yang baik jarang aku ceritakan kepadanya karena takut menjadi beban pikirannya atau bahkan aku malas untuk membahas tentang diriku dengannya.

Orang-orang biasanya memberi perhatian khusus kepada orang yang di cintainya, dan lagi-lagi itu bukanlah kami. Memberi perhatian kepadanya membuatku merasa canggung. Dia sering memberi perhatian kepadaku,tapi hanya kubalas dengan datar dan aku tak ingin dia ambil pusing tentangku.
Rasa canggungku ini entah kapan dan dari mana datangnya, mungkin itu karena aku lebih sering jauh darinya. Ya … begiulah hubunganku dengan ibuku.

Malam itu pukul 22:30, aku hendak membaringkan tubuhku ke tempat yang paling nyaman di bumi yaitu tempat tidurku. Karena hal itu adalah hal yang terbaik di untuk dilakukan karena aku sudah lelah beraktivitas satu harian. Belum lagi ditambah pekerjaan rumah yang menunggu setelah pulang sekolah. Aku sangat lelah dan hanya ingin terlelap saja, hanya itu saja.

Aku tak bisa langsung membaringkan tubuhku karena suara yang berisik dan membuatku tersentak. Ketukan itu datang dari pintu utama rumah. Makin lama ketukan itu berubah menjadi gedoran seperti petir yang menyambar saat hujan lebat di siang hari. Aku bangkit dari ranjangku dan pergi ke arah suara tersebut.

Aku melihat seorang pria dewasa yang menggedor-gedor pintu rumah utama dan ngotot untuk aku bukakan pintunya. Dan di belakang seorang pria itu berdiri seorang pria atau mungkin lebih ke anak laki-laki karena dia lebih mudah dariku. Dan ternyata itu adalah pamanku dan adikku. Aku sulit mengenali mereka karena sudah sempat menutup mata dan bergolek di ranjang yang mengakibatkan mataku sedikit basah akibat kelelahan.

Anehnya wajah pamanku sangat merah seperti tersulut api panas. Dia cepat-cepat menarik tangan adikku masuk dan menutup pintu rumah dengan cepat agar tetangga tidak terganggu dengan keributan yang ditimbulkan. Aku mulai bingung saat pamanku memukuli adikku. Kucoba untuk tenang tapi tak bisa. Aku panik dan juga bingung dalam waktu yang bersamaan.

“Anak kurang ajar!”

“Ada apa ini, Paman?”

“Kau tahu? Adikmu ini ….”

“Kenapa, dia kenapa?”

“Kau tahu apa ini?”

Aku terdiam seribu bahasa. Mulutku menganga seperti gua yang lembap dan dingin. Aku masih tidak percaya apa yang ditunjukkan paman kepadaku. Aku meyakinkan diri bahwa itu bukanlah barang haram yang sering dipakai oleh orang-orang untuk bermain di atas fantasinya. Dadaku sesak dan pandanganku mulai kabur akibat air mata yang menetes jatuh begitu saja di pipi. Aku hanya terdiam tak mengeluarkan satu kata pun. Aku hanya melihat adikku tertunduk merasa seolah ia merasa bersalah dan tak berani menatapku.

Aku langsung pergi ke kamar mengunci pintu dan menangis hingga aku terlelap. Bahkan aku tak tahu apa selanjutnya yang terjadi pada adikku itu. Aku sangat kesal dalam hati dan tak percaya apa yang telah diperbuatnya. Sampai pagi hari pun mataku masih bengkak akibat air terjun mengalir deras dari mataku. Aku tak menyangka adikku akan berbuat seperti itu. Mungkin itu karena aku kurang memberinya perhatian bahkan aku tidak tahu seperti apa adikku itu sebenarnya.

Aku dan adikku tinggal bersama nenek di kota sedangkan ibu tinggal di desa. Aku sudah 10 tahun tinggal bersama nenek. Sekarang umurku sudah 18 tahun dan adikku 16 tahun. Masalah ekonomi membuat ibu harus tetap di desa untuk mengurus sawah di sana. Dan Aku dan adikku tinggal di kota karena alasan pendidikan. Pendidikan di kota lebih bagus dari pada di desa. Ibuku ingin kami sekolah yang tinggi agar tidak susah kelaknya seperti kami sekarang.

Sementara itu, ayahku sudah lama pergi meninggalkan kami. Aku masih samar-samar mengingat wajahnya. Karena ia pergi setelah adikku berumur 2 tahun, dan aku tak tau bagai mana kabarnya. Aku bahkan tidak ingin tahu bagaimana dia.

Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtua membuat aku dan adikku tidak terlalu dekat hubungannya bahkan hubunganku dengan ibuku. Sangat canggung. Aku lebih dekat dengan nenekku. Mungkin karena aku lebih lama tinggal dengan nenek. Ibu sering mengirim uang untuk biaya kami di kota. Tapi itu tak cukup dan memaksa nenek untuk bekerja untuk mencari sesuap nasi. Bahkan di umurnya yang bisa di bilang sudah tak mudah lagi masih bekerja untuk kami hidup.

Kalau hari libur biasanya kami pergi ke desa untuk menjumpai ibu kalau ada waktu ibu yang berkunjung ke kota ke rumah nenek untuk melihat kami. Anehnya saat kami pergi berlibur ke desa ibu sering tak pergi kerja. Alasannya dia ingin menghabiskan waktu bersama kami. Aku tidak ambil pusing dengan apa yang dibilang ibu, karena perkataan ibu ada benarnya.

Dan hari ini hari libur sekolah. Aku dan adikku pergi ke desa untuk menjumpai ibuku. Perjalanan dari kota ke desa memakan waktu 2 jam, dan membuat aku terlelap di mobil penumpang. Adikku membangunkanku dari tidurku dan menyatakan bahwa kami telah sampai ke tujuan kami. Sedikit berjalan untuk menuju rumah ibuku.

Sampai di rumah aku dan adikku di sambut oleh ibuku. Tapi aku hanya menyapanya sekadar karena terlalu canggung dan aneh buatku untuk berbicara banyak bersama ibuku dan kami juga tidak terlalu dekat. Walaupun mengetahui hubungan aku dan ibuku adalah seorang ibu dan anak. Memang selalu seperti itu dan aku sangat terbiasa oleh itu. Bahkan saat di desa aku lebih sibuk dengan diriku sendiri.
Pernah sekali aku ingin membantu ibu pergi ke sawah, ibu menolak keras dan mengatakan nantinya aku letih atau apalah itu. Ibu juga mempunyai pekerjaan sampingan yaitu tukang urut. Jadi ibu sering pergi malam hari untuk mengurut orang-orang desa.

Saat malam tiba, ibu tidak pergi mengurut dan hanya berdiam di kamar. Aku menghampiri ibu untuk sekadar menyapa saja lalu tidur. Namun saat masuk masih saja sama, keadaan canggung dan hening. Ibu menyapaku dan aku membalasnya dengan datar. Sangat hening dan sunyi sampai aku membuka suara.

“Bu …”

“Iya, nak?”

“Ibu tahu tentang adik?”

“Tentang apa, nak?”

Sudah kuduga. Nenek dan pamanku pasti menyembunyikan hal ini kepada ibuku, agar ibuku tak terganggu. Tetapi aku sangat terganggu dengan hal itu. Karena ia mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui baik buruk anaknya itu.

“Adik memakai barang haram, dia tertangkap basa oleh paman.”

Ibuku hanya menangis tanpa mengeluarkan suara. Melihat itu aku pun menangis. Malam itu ibuku pergi bertanya ke pada adikku tentang kebenaran hal itu. Dan ibuku menasihati dan menanyai adikku sampai larut malam.

Besoknya ibu pergi bekerja. Tanpa ibu sadari, aku mengikuti ibu dan ingin tahu di mana sawah kami berada. Anehnya ibu memang berpakaian seperti orang yang hendak ke sawah tetapi tidak ada sawah yang kami lewati sedari tadi. Malahan yang ada jalan yang rusak dan hanya sedikit orang yang melewati.
Sampai kaki ibu terhenti di sebuah rumah. Rumahnya besar tetapi tata letak yang aneh untuk rumah seperti itu di tempat yang seperti ini. Banyak botol bir dan kulit kacang yang berserakan di halaman rumah tersebut. Aku menunggu ibu di luar dan tak berani masuk ke dalam, karena aku takut dimarahi oleh ibu. Seribu pertanyaan di kepalaku yang tidak dapat dijawab.

Aku menunggu dan menunggu. Banyak orang yang datang dan pergi dari rumah itu sampai-sampai mereka tidak menyadari keberadaanku. Setelah lama menunggu ibu keluar bersama seorang pria yang marah-marah kepadanya. Baju ibu berganti tidak seperti baju yang dipakainya saat ia bilang mau pergi ke sawah. Bajunya terlalu vulgar.

“Dasar wanita jalang!”

“Sudah dibayar masih mau tambah bayaran lagi.”

“Asal kau tahu kau tidak lebih dari sampah.”

Pria itu memukul wajah ibuku dan meludahinya. Aku menangis. Saat ibu menyadari keberadaanku aku langsung lari pulang ke rumah. Aku tak sanggup melihatnya. Menjijikkan. Jadi ini pekerjaannya selama ini.

Sampai di rumah aku hanya menangis di kamar. Adikku bingung melihatku dia bertanya bagaimana keadaanku tetapi aku tak mau mengatakan yang sebenarnya kepadanya. Sampai pada saat ibu pulang ke rumah.

Dia menemuiku di kamar dan aku hanya diam saja.

“Nak apa yang kau lihat, tidak seperti apa yang kau pikirkan.”

Aku diam dan mengabaikannya. Sudah 3 hari aku tak menanggapi hal-hal yang dia katakan kepadaku. Sialan. Mengapa aku punya ibu sepertinya. Lebih baik tidak punya ibu daripada melihat ibu sendiri bermain gila sama om-om yang tak di kenal.

Hari itu aku terkujur kaku melihat ibu baru pulang entah dari mana dan langsung tumbang di ambang pintu rumah. Dia lemas dan sulit untuk berbicara. Melihatnya seperti itu aku menangis dan mencoba menopangnya. Aku dan adikku membawa ibu ke kamar untuk diistirahatkan.

“Nak maafkan ibu, karena tidak bisa menjadi ibu yang baik dan mendampingi kalian.”

“Ibu sakit, sangat sakit. Jadi ibu harap kalian bisa hidup dengan mandiri bersama nenek.”

“Apakah ibu sudah lama melakukan pekerjaan itu?”

“Iya nak. Agar kita bisa hidup di dunia yang tidak adil ini. Ibu melalukan apa pun untuk kalian.”

Aku menangis mendengar itu. Aku menyuruh ibu untuk periksa ke dokter tapi dia dengan keras menolak dan mengatakan bahwa hal itu akan sia-sia. Besoknya ibu meninggal. Tak banyak kenanganku bersama ibu. Tapi hatiku sakit karena ditinggalkan seperti ini, tanpa penjelasan apa pun.

Setelah ibu meninggal nenek pulang ke desa untuk mengurus pemakaman ibu. Kami memakamkan ibu di desa. Setelah pemakaman kami berencana pulang ke kota melakukan aktivitas rutin seperti biasa. Saat mau balik ke kota aku di panggil seorang ibu-ibu, mungkin dia teman ibuku atau tetanggaku. Dia memberiku beberapa surat untuk aku baca setelah sampai di kota nanti.

Aku mengiyakan dan menyimpan surat itu salam tasku. Nenek dan adikku tidak mengetahui bahwa aku menerima surat itu dari ibu-ibu tadi. Aku juga tak memberi tahu mereka karena menurutku isi suratnya paling hanya nasihat atau foto kenangan waktu kecil yang di simpan ibuku untuk kulihat saat aku besar nanti.

Setelah kematian ibuku aku tidak terlalu larut dalam kesedihan. Karena aku terlalu disibukkan sama kegiatanku yang menumpuk. Sampai aku lupa untuk membaca surat itu. Saat aku teringat aku membaca suratnya. Isinya sangat pilu, sangat menusuk hati. Membuat aku merasa bersalah atas tindakanku selama ini kepadanya. Sesak dadaku sangat sesak membacanya dan air mata berjatuhan begitu saja membasahi tempat tidurku.

“Anakku yang tercinta. Aku ibumu yang melahirkan engkau, aku sangat bangga memilikimu dan adikmu. Tapi pria itu tidak bertanggung jawab atas kita. Memukuliku dan pergi tanpa kabar. Sangat tidak bertanggung jawab. Bagaimanapun anakkku, aku tidak bisa terlalu larut di dalam kesedihan dan harus melanjukan hidup untuk mencari pekerjaan.

Sangat sulit untukku anakku untuk mencari pekerjaan. Karena ibumu ini hanyalah tamatan SMP. Ibu juga mencoba untuk bertani, tetapi hasilnya ibu dapat tidak sesuai dengan modal ibu keluarkan. Ibu juga melamar ke restoran untuk bekerja dan diterima. Ibu bekerja lama di restoran tapi kebutuhan dan biaya hidup masih belum dapat ditutupi dari gaji ibu bekerja.

Sampai ibu ditawarkan pekerjaan yang gajinya menggiurkan oleh orang yang tidak ibu kenal. Ibu menerimanya karena tuntutan ekonomi dan dia bilang pekerjaannya mudah untuk dilakukan. Ternyata ibu dijebak, dan harus menjalani kehidupan yang pahit di desa ini.

Yang mau ibu katakan adalah bahwa ibu sayang kalian. Bukannya ibu tak mau bersama kalian. Tetapi dunia ini menuntut ibu bertahan dalam keadaan yang sangat kejam ini. Maaf ibu tak bisa memberi perhatian khusus untuk kalian.

Maafkan ibu.

Ibu sayang kalian.”

Tak sampai di situ. Aku juga melihat lembaran kertas yang menunjukkan bahwa ibu mengidap penyakit kelamin. Itu dikarenakan pekerjaan yang selama ini digelutinya.

Anak sungai terbendung di pipiku. Tak sanggup menghadapi kenyataan yang ada. Aku terisak sekeras-kerasnya.

Bodoh! Kenapa harus melakukan pekerjaan seperti itu? Untuk apa dia bekerja untuk kami? Lebih baik dia pergi saja meninggalkan kami dan tidak mengambil pekerjaan itu. Kenapa? Kenapa dia mementingkan kami daripada dirinya? Untuk apa dia melakukan semua ini? Kenapa hidup harus sesulit ini? Apakah keluarga kami di kutuk? Aku merutuki diri dengan kesal sambil menangis sampai tertidur.

Banyak pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku yakin ibu juga memiliki rahasia yang lebih besar yang ia tutupi dari kami. Alasan mengapa ia tidak berhenti dari pekerjaan itu atau pun mengapa ia tidak mencari ayahku dan meninggalkan kami bersamanya agar ia bisa hidup dengan bahagia.

Setelah mengetahui kebenaran-kebenarannya aku mulai kesal dengan diriku yang tidak mengetahui bagaimana ibuku itu sebenarnya. Banyak yang berubah. Kebenaran mengapa ibu melakukan itu, atas dasar apa, mengapa ia tidak berhenti dari pekerjaan itu, bagaimana ibu itu sebenarnya.

Sekarang aku tahu apa penderitaan yang ibu alami. Sangat sakit dan sulit untuk menerima kenyataan-kenyataan yang telah terjadi. Tapi dari semua hal itu aku belajar bahwa mungkin ibu tak dekat denganku atau pun adikku. Tapi dia melakukan segala hal agar kami dapat bertahan hidup. Darah, keringat, dan air mata yang ia keluarkan berbanding terbalik dengan perilaku yang ia terima dari anak-anaknya atau pun orang-orang sekitar. Aku mulai merasakan kesedihan ibu dan bagaimana stresnya dia dengan masalah-masalah yang muncul. Aku memaki diri karena memperlakukan ibuku seperti itu.
Aku menyesal.

Biodata Penulis
Ruth Silalahi
, siswa SMK RK Bintang Timur Pematangsiantar.

Tulis.me dengan senang hati menerima karyamu untuk dimuat di sini. Karya dapat berupa cerpen, puisi, esai, atau tips menulis. Untuk mengirim karya, buka menu Submit Karya & Tips.

Baca karya fiksi lain di menu Baca Karya Fiksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *