Cerpen – Kembang Seroja – Innezdhe Ayang Marhaeni

Cerpen karya Innezdhe Ayang Marhaeni.

Ibu yang memilih melahirkan tanpa didampingi suami memberi nama Jingga untukku. Jingga untuk senja yang dicintai orang tuaku semasa mereka masih menjadi sepasang kekasih sampai jingga untuk hari terakhir Ibu melihat Ayah di ambang pintu. Terlalu banyak jingga dalam kenangan ibu dan ayahku sehingga aku kehabisan alasan autentik mengapa harus jingga.

“Rokok ini kubagi dengan ayahmu ketika senja turun di pantai utara. Anginnnya perlahan sehingga kami sepakat hanya menghabiskan satu batang sebelum pulang. Tapi kenyataannya lain,” suatu waktu Ibu mengacungkan rokok kretek yang harum di depanku. Koran Minggu terbuka di depannya.

“Aku ini tidak perlu berbagai macam kiasan hidup enak untuk bisa mewah. Menikmati rokok yang sama selama tiga puluh tahun tanpa sedikit pun berpindah ke lain hati adalah urusan keikhlasan yang substansial.”

Lalu? Apa hubungannya rokok itu denganku?

Kala kuungkapkan pertanyaan itu, Ibu tersenyum simpul sedikit geli, kemudian kembali duduk bersandar di kursi.

“Tepat sembilan bulan setelah pergi ke pantai utara itu, kau lahir.”

Oh.

“Satu batang yang apabila karena kehendak Tuhan ia padam atau terjatuh, kau takkan ada.” Dengan sisa-sisa kebanggan seperti bekas koyo yang terlalu lama ditempelkan di kulit, Ibuku terkekeh. Kecantikannya seolah menguar menjadi uap yang memesonaku, menawanku hingga bertahun-tahun lamanya betah tinggal berdua bersama Ibu.

“Bagi Ibu, rokok itu sama pentingnya denganku.” Lain waktu pula aku sesumbar kala kami berdua tengah duduk catur. Kuarahkan kudaku ke perwiranya yang bertengger sombong di depan benteng.

“Kau tidak paham. Bagiku,” ia terhenti sejenak. Kemudian mengarahkan rajanya kembali berlindung di balik bayang-bayang. “Ada puluhan juta kesempatan yang dapat kugunakan untuk memiliki anak, apalagi dengan ayahmu. Tapi kau memilih caramu sendiri. Sebab itulah, rokok ibumu ini tidak pernah ganti.”

Perbincangan kala itu terhenti ketika rajaku mati di tangan perwiranya.

Ibuku berhasil menjadi seorang wanita yang seperti ia kelak aku akan menjadi. Semakin kuingkari kata-kata dan seleranya, semakin lama semakin mirip pula kami. Pilihan hidupnya membuatku tak sedikitpun gentar meski tak secuil pun kurasakan kebanggaan pada diriku seperti ia bangga padaku. Sebab itu pula yang selalu menjadikannya marah padaku.

“Tidak ada yang pantas merendahkan kita kecuali kita terlalu rendah meletakkan kepala kita. Jangan sekalipun kau percaya orang-orang dapat memengaruhimu karena hanya kau yang dapat mengubah pandangan dan sikapmu. Tak lain.” Tegas Ibu berulang-ulang. Berkali-kali. Mantra itu kujadikan sebuah kesempatan untuk memindahkan sepenuhnya tanggung jawab pada Ibuku apabila suatu ketika aku melakukan kebodohan. “Ini didikan ibu,” adalah ucapan saktiku di hadapan orang lain.

Begitu pula yang terjadi ketika seorang pria menghampiriku di depan sekolah pada suatu siang saat aku masih SMA. Ia memastikan namaku dan menunjuk pada satu arah. Tanpa perlu memicing aku bisa mengenali betul raut wajah yang tengah gamang karena bahagia saat melihatku itu. Aku menghampirinya dan dengan suaraku yang baru pertama kali didengarnya seumur hidup, kuhadiahi ia dengan kata-kata lugas tanpa cela yang berbunyi, “kau ayah?”

Siang itu seorang lelaki paruh baya menangis tak henti-henti di hadapanku.

***

Pertemuan kembali kedua manusia yang dulu pernah jungkir balik karena cinta di balik karang tepi lautan itu tak hanya gamang bagi salah satu pihak. Kurasakan Ibuku meredam-redam kegugupannya dengan berbatang-batang rokok. Hal yang baru kusadari pula bahwa Ayahku melakukan hal yang sama sehingga asbak di ruang tamu kami penuh dalam waktu setengah jam saja.

Tak ada ucapan basa-basi retorik yang memuakkan ketika untuk pertama kalinya setelah belasan tahun mereka berpisah. Sebaliknya, keduanya hanya duduk berseberangan tanpa sedikitpun saling pandang. Dua jam kemudian, barulah tenggorokan itu digunakan selain untuk menghirup asap yang tidak henti-henti.

“Jingga sudah besar..” ucapan Ayahku terdengar sayup-sayup.

“Hm-mm. Kuberi makan ia sehari tiga kali, dan tiba-tiba ia sudah setinggi ini,” Ibuku menyahut.

“Ia tidak ingin ayah lagi?” tanya Ayah.

“Satu sudah cukup. Tidak pula akan terganti. Saya dengar kau sudah beristri,” jawab Ibu.

“Ya. Jingga punya tiga adik tiri.”

Aku berbalik karena mataku pedas. Dan kurasakan cinta yang menguar melalui abu-abu yang terlalu lama tak dibuang. Jauh dari ranjang, cinta orang tuaku cukup melalui hisapan dari satu bungkus rokok yang sama.

***

Kudengar ucapan Ibuku di telepon tempo hari lalu.

“Jingga, terkadang kita perlu keberanian untuk mencintai. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup. Aku harap apapun yang kulakukan tidak akan membebanimu. Membebanimu adalah hal terakhir yang kuinginkan.”

“Aku selalu berpikir Ibu adalah seorang idealis yang diinjak-injak idealismenya sendiri.”

“Bahagia bukanlah konsep ideal dalam kepala ibumu, Jingga.”

“Tapi kesejahteraan lain soal,” aku kembali mengulang ucapan Ibuku.

Dapat kubayangkan Ibuku mengangguk puas di sana.

“Aku baru memahami bahwa menjadi manusia adalah penerimaan terhadap cela-cela yang diberikan secara hakiki dalam hidup kita. Kita memang serba cacat. Jingga, saat aku seusiamu, aku terlalu banyak membaca buku-buku murahan yang isinya tak jauh dari narkotika dan selangkangan. Saat itu, hal-hal yang melanggar hukum dianggap memiliki nilai lebih dalam pergaulan. Jadi aku tidak heran kalau sebegini berantakannya aku menjadi seorang ibu. Tetapi kalau kau mau tahu, Jingga, membesarkan anak pun lain soal dan pertumbuhanmu tak lain adalah perencanaan demi perencanaan yang matang.”

“Aku tidak bisa membayangkan saat aku seusia Ibu.”

“Memang tidak perlu. Tua adalah yang pernah muda tetapi yang muda tidak sedikitpun akan tua.”

Tetapi itu beberapa hari yang lalu. Tak pernah kusangka, ucapan Ibu ada benarnya. Nyatanya dalam detik-detik terakhirku, dapat kurasakan tanganku yang menggenggam botol obat yang kosong. Sepersekian detik selanjutnya mataku adalah gerbang seberat ratusan kilogram yang menutup tanpa paksaan. Sedikit demi sedikit melenyapkan diriku yang terasa menyusut hingga seukuran debu. Namun anehnya telingaku masih menangkap debam pintu, decit alas kaki yang bersirobok dengan lantai dan berebutan menyesaki ruangan, ditingkahi pekik tak keruan dan tubuhku yang melayang oleh tangan-tangan tak dikenal.

“…itu Jingga, kan? Dari kampus sebelah..”

“…bohong! Tahu dari?”

“…lihat tatonya, bego. Siapa lagi yang punya tato tribal  di sepanjang lengan begitu?”

“…hamil?”

“…ngaco!”

“…keluarganya sudah dihubungi? Ibunya?”

“…sudah. Tapi kayaknya ibunya sakit, deh.”

“…maksudnya?”

“…pas dikabarin anaknya bunuh diri, ibunya bilang, ‘saya tidak kaget. Itu bagian dari rencana.’”

Organ dalamku hancur. Mencair menjadi busa dari mulut. Menjadi bisa tanpa penawar.

 

 

Tulis.me dengan senang hati menerima karyamu untuk dimuat di sini. Karya dapat berupa cerpen, puisi, atau esai. Untuk mengirim karya, buka menu Submit Karya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *